#PHVote

Jejak Hendropriyono di kasus Talangsari

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Jejak Hendropriyono di kasus Talangsari

EPA

Hendroproyono saat itu berpangkat Kolonel. Mantan Kepala Badan Intelijen Nasional ini diduga bertanggung jawab atas tewasnya jemaah pimpinan Warsidi di Talangsari, Lampung, pada 1989. Seperti apa kronologinya?

JAKARTA, Indonesia — Jurnalis investigasi asal Amerika Serikat, Allan Nairn, dipanggil penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Selasa, 10 Februari 2015.

Nairn diminta keterangannya sebagai saksi dalam kasus dugaan pencemaran nama baik yang dilakukan mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Abdullah Makhmud Hendropriyono terhadap korban dan keluarga korban kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Talangsari, Lampung.

Hendro sebelumnya menyebut warga Talangsari bunuh diri. Seperti yang dituturkan dalam blog Nairn ini.

“Tiba-tiba mereka bakar gubuk mereka sendiri. Itu yang bikin banyak orang mati,” kata Hendro pada Nairn. Hingga saat ini, Hendropriyono belum mengakui keabsahan rekamannya dengan Nairn. 

Lebih dari itu, kehadiran Nairn di Indonesia selalu erat kaitannya dengan cerita-cerita miring tentang pelanggaran HAM masa lalu Hendro. Salah satunya adalah kasus Talangsari.

Berikut adalah jejak Hendro di kasus tersebut menurut sumber-sumber yang lain: 

Berawal dari laporan seorang camat

Awalnya, pada 27 Januari 1989, Camat Way Jepara Zulkifli Maliki di Lampung Timur, berkirim surat kepada Komandan Rayon Militer (Danramil) Way Jepara Kapten Soetiman. Zulkifli meneruskan informasi dari Kepala Desa Rajabasa Lama Amir Puspa Mega, dan Kepala Dusun (Kadus) Talangsari Sukidi, tentang sebuah jemaah pengajian di Talangsari pimpinan Anwar Warsidi. 

Dalam surat itu, Zulkfili menuturkan, masyarakat setempat resah dengan kegiatan jemaah pengajian Talangsari tersebut karena dianggap memiliki kaitan dengan gerakan Islam garis keras

Salah satu jemaah pengajian Talangsari, Nurhidayat, disebut pernah bergabung ke dalam gerakan Darul Islam-Tentara Islam Indonesia (DI-TII) pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Untuk mengklarifikasi hal tersebut, Zulkifli pun berkunjung ke Talangsari pada 21 Januari 1989. 

Teror pertama di Talangsari

Tanpa diduga-duga, muncul kejadian yang disebut sebagai “penyerbuan” sehari setelah kunjungan Camat Zulkifli, yakni pada Minggu, 22 Januari 1989. 

Aparat keamanan, salah satu di antara mereka adalah Sersan Mayor (Serma) Dahlan AR, mendatangi perkampungan Cihideung, Talangsari, pada tengah malam. 

Dalam catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), Dahlan yang ketika itu membawa senjata api, masuk ke mushola tanpa melepas sepatu. Ia diceritakan mencaci-maki peserta pengajian, disertai umpatan. 

Dahlan bahkan menyebut para jemaah itu melakukan kebathilan (kesalahan) dan kegiatannya dianggap menentang pemerintah. 

Menurut catatan Kontras, Dahlan kemudian mengancam akan menghancurkan pemukiman tersebut jika kegiatan tidak segera dihentikan. Dalam aksinya, ia mengacungkan senjata api dan menantang para jemaah. 

Sekitar 10 orang jemaah yang hadir, di antaranya Arifin, Sono, Marno, Diono dan Usman, berusaha menahan diri untuk tidak terpancing. Setengah jam kemudian, jajaran aparat pergi meninggalkan mushola. 

Surat demi surat dari Camat Zulkifli

Jemaah Talangsari semakin terdesak. Tetangga Talangsari, Desa Labuhan Ratu, mengaku resah dengan kehadiran jemaah Warsidi. Mereka mengadu pada Camat Zulkifli.  

Zulkifli pun rutin mengirimkan surat berisi informasi dan aduan pada Danramil 41121 Way Jepara Kapten Sutiman. Dalam sebuah suratnya, Zulkifli meminta Koramil untuk meneliti Usman, Jayus, dan Anwar, yang disebutkan sebagai orang-orang yang berada di balik pelaksanaan pengajian itu. 

Sutiman menindaklanjuti laporan itu dengan perintah untuk menghadirkan ketiganya dalam sebuah pertemuan di kantor Koramil. 

Penyerbuan di tengah malam 

Para demonstran meminta Kasus Talangsari segera diusut. Sumber: Kontras

Awal Februari 1989, sebuah surat permintaan pembubaran pengajian dilayangkan Kepala Desa Rajabasa Lama kepada Sutiman. 

Dalam surat itu disebutkan, anggota jemaah sudah bersiap-siap “menunggu” pihak luar yang akan membubarkan mereka dengan senjata bom molotov. 

Kabar itu bukan isapan jempol semata. Dalam rangkaian hari yang sama, Kapten Sutiman meminta persetujuan Komandan Kodim 0411 Metro, anggota Musyawarah Pimpinan Kabupaten (Muspika) Way Jepara, Danrem 043 Garuda Hitam di Tanjung Karang, Kakansospol TK II Lampung Tengah dan Kakandepag TK II Lampung Tengah untuk langkah yang akan dilakukannya, menangkapi anggota jemaah pengajian pada sebuah penyerbuan malam. 

Lalu pada Minggu, 5 Februari 1989, sekitar pukul 23:45, Serma Dahlan, Kopda Abdurrahman, Pamong Desa Ahmad Baherman, dan Kepala Dusun Talangsari III Sukidi, dibantu beberapa orang lainnya, menyergap salah satu pos ronda milik jemaah pengajian. 

Sejumlah 7 orang jemaah ditangkap. Dua orang, satu di antaranya terluka parah akibat popor senjata, berhasil melarikan diri. Lima orang lainnya ditangkap dan ditahan di Kodim 0411 Metro, Lampung. 

Keesokan harinya, Kasdim Mayor Oloan Sinaga melakukan penyergapan dan penyerangan lanjutan ke Cihideung, bersama 9 anggotanya. Tanpa didahului dialog dan memberikan peringatan terlebih dahulu, berdasarkan laporan Kontras, mereka menembaki perkampungan pada saat jemaah baru tiba dari sawah dan ladang. 

Di mana Hendropriyono saat itu?

Peristiwa itu sampai juga ke telinga Komandan Korem Gatam 043 Kolonel Hendropriyono. 

Dalam catatan Kontras, Hendro jugalah yang melaporkan kepada Panglima Kodam II Sriwijaya, Mayjen TNI R Sunardi, yang sedang berada di Bandar Lampung dalam rangka peresmian lapangan tenis baru untuk Korem Gatam. 

Pangdam Mayjen R Sunardi memerintahkan Hendropriyono untuk melanjutkan usaha penertiban di Dusun Talangsari III. 

Dengan menggunakan truk-truk, pasukan pun disiapkan di sekitar Cihideung, Talangsari. Di lokasi itu, anggota jemaah pengajian melakukan ronda dan bersiap untuk bertahan bila kembali diserang. 

Jayus dan Alex, anggota jemaah pengajian, mengkoordinir jamaah dari Jakarta, Lampung, dan Solo untuk jaga malam. 

Tepat pukul 12 malam, serangan dilakukan. Suara tembakan menyalak-nyalak. 

Petugas jaga jemaah pengajian pun membalasnya dengan tembakan dari senjata milik pasukan yang sempat menyerbu sebelumnya, dan tertinggal. Ketegangan semakin memuncak. 

Beberapa kali, jemaah pengajian yang melakukan penjagaan memergoki beberapa tentara yang akan menyusup diam-diam. Saat akan diserang, tentara itu melarikan diri. 

Matahari sudah mulai meninggi saat Kolonel Hendropriyono bersama lebih dari satu batalion pasukan infantri dibantu beberapa Kompi Brimob, Corps Polisi Militer (CPM) dan polisi menyerbu perkampungan Cihideung.

Pasukan penyerbu dilengkapi senjata M-16, bom pembakar (napalm), dan granat. Sebagian pasukan menggunakan dua buah helikopter, yang digunakan untuk membentengi arah barat. 

Melihat penyerbuan terencana dan besar-besaran, tidak ada jalan keluar bagi jemaah untuk meyelamatkan diri. Mereka hanya bisa membentengi diri dengan membekali senjata seadanya. Korban pun berjatuhan. 

Penyerbuan terus berlanjut. Anggota jemaah pengajian yang kebanyakan perempuan dan anak-anak yang tertangkap digiring menuju ke Kodim 0411 Metro yang berjarak 2 kilometer, dengan berjalan kaki. 

Komnas HAM minta Hendro diperiksa 

Setelah berpuluh tahun, dan melalui proses penyidikan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan Kejaksaan Agung perlu memeriksa Hendro, karena ia diduga terlibat dalam kasus “pembantaian” Talangsari tersebut. 

Hendropriyono: Saya difitnah

Hendro sendiri tak pernah banyak bicara tentang kasusnya. Berdasar penelusuran, Hendro baru angkat bicara pada Desember 2014 lalu. Ia mengatakan bahwa dirinya difitnah dalam kasus Talangsari. 

“Saya difitnah kasus Talangsari. Itu pertempuran, anak buah saya juga banyak yang mati. Asal bentrokan, dibilang pelanggaran HAM,” kesal Hendropriyono pada sebuah media online

Soal bentrokan, Hendro membantah itu termasuk pelanggaran HAM. “Kalau orang berontak, nyerang, masa itu pelanggaran HAM? Jangan asal nuduh,” tegasnya.

Ia menegaskan, kasus Talangsari bukan pelanggaran HAM. “Talangsari disebut pelanggaran HAM. Saya akan tentang, di mananya?” katanya. 

Ia justru balik menuding pihak-pihak tertentu memanfaatkan isu tersebut. “Saya tahu ada yang bayarin untuk nyerang saya (sebagai pelaku). Saya tahu, tapi saya nggak mau jahil. Kalau terpaksa, saya bisa bongkar semua,” ujarnya. 

“Tidak satu pun nama saya disebut” 

Mantan Kepala BIN ini selanjutnya mengatakan, namanya tak pernah disebut dalam penyidikan. “Kita ada aturan hukum. Sejak awal penyelidikan dan penyidikan, tidak satu pun nama saya disebut,” kata Hendro.

Bahkan dia juga mengaku tak pernah menghadiri panggilan dari Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Talangsari. Sebab, menurut Hendro, TPF secara hukum tidak memiliki hak sedikit pun untuk melakukan pemanggilan.

“Kalau diperiksa polisi, saya mau. TPF mau saya datang, ya datang ke rumah saya saja. Tapi dia (TPF) malah manggil. Saya nggak mau, mana aturannya kamu manggil orang? Dalam undang-undang apapun tidak ada kewengan dia untuk memanggil. Itu kan ada aturannya. Kalau yang panggil pengadilan, polisi, saya datang,” pungkasnya. —Rappler.com 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!