Filipino boxers

Merombak kata lewat kolase: Mengapa ‘wanita’, bukan ‘perempuan’?

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Merombak kata lewat kolase: Mengapa ‘wanita’, bukan ‘perempuan’?
Ika Vantiani mengajak masyarakat untuk mendiskusikan makna kata lewat teknik sederhana: kolase.

JAKARTA, Indonesia — Pernahkah terpikir kalau hal sederhana seperti kata, atau bahasa sehari-hari, ternyata memiliki makna lebih luas daripada yang sudah diajarkan? Seperti kata “Wanita” dan “Perempuan”, yang meski artinya sama namun memberi kesan yang berbeda.

Pemikiran inilah yang mendorong Ika Vantiani, seorang pembuat kolase, memulai proyek Kata Untuk Perempuan.

“Awalnya waktu Oktober 2015, saya mengadakan workshop di Australia,” kata Ika saat ditemui Rappler di Plaza Indonesia, pada Sabtu, 28 Mei lalu. Program kerjasama seniman dua negara itu, bila disingkat, menjadi “Wanita”, atau workshop Indonesia-Australia.

Ika tak merasa heran dengan penamaan tersebut, namun beberapa temannya memiliki persepsi lain. Ia banyak menerima pertanyaan, mengapa menggunakan kata “Wanita” bukan “Perempuan”?

Pemaknaan kata

Sebenarnya, kedua kata ini memiliki makna yang sama, yaitu merujuk pada kaum hawa. Namun, setelah Orde Baru, ada pemaknaan yang berbeda.

Wanita dianggap menjadi kata yang merendahkan, bahkan diasosiasikan dengan “wani ditata” atau bisa ditata. Sementara perempuan, yang berasal dari kata “empu” dianggap terlalu garang.

“Sadar atau tidak sadar, begitu. Saya juga kalau ditanya wanita atau perempuan, akan menjawab yang kedua. Padahal kan sama saja artinya,” kata Ika.

Ia meyakini ada banyak orang yang berpandangan sama, dan memutuskan memulai proyek Kata untuk Perempuan.

Mengapa kolase?

Majalah dan potongan kertas untuk bahan kolase.

Rappler mengikuti satu sesi workshop kolase, yang hingga sesi terakhirnya kemarin, kuotanya selalu penuh. Selama pukul 13:00 hingga 15:00 WIB, sepuluh seorang duduk bersama untuk menempelkan potongan-potongan gambar menjadi satu karya yang mereka inginkan.

Di hadapan masing-masing peserta, ada selembar kertas karton dan HVS putih, gunting, dan lem. Selain itu, berserakan juga majalah dengan berbagai topik. Sebagian besar halamannya sudah dipotong-potong dari sesi workshop sebelumnya.

Ika menjelaskan, kalau kertas karton putih ukuran A5 akan menjadi dasar bidang kolase, sementara kertas putih untuk menceritakan alasan di belakang gambar serta kata yang dipilih.

“Saya sekaligus mau memperkenalkan teknik kolase ini, karena masih banyak orang yang belum tahu,” kata Ika yang sudah menjadikan kolase sebagai satu bentuk karya seni sejak 2008. Berbeda dengan seni lukis ataupun patung yang menuntut teknik tinggi, kolase bisa dengan mudah dilakukan siapa saja.

Untuk peralatan juga sederhana, cukup kertas jenis apapun, gunting, lem, dan potongan gambar. Semuanya bisa diperoleh dari mana saja, tanpa harus secara khusus mendatangi art and supply shop. 

Peserta serius membuat karya kolase mereka.

“Ini kegiatan yang sederhana dan keseharian, tetapi bisa menampilkan hasil yang sedemikian rupa,” katanya.

Karena teknik yang mudah dan sederhana ini, banyak peserta workshop yang jadi ketagihan ikut. Mereka tak merasa terintimidasi oleh masalah teknik dan kemampuan, karena dasarnya sesederhana menggunting dan menempel.

Diskusi makna

Bertulisakan gpp, yang sering diucapkan perempuan karena malas menyampaikan pendapat.

Setiap peserta yang sudah selesai akan diminta untuk menceritakan makna kata yang mereka pilih. Sesi ini sangat menarik karena peserta bisa membicarakan bagaimana mereka memaknai kata, dari berbagai bahasa.

Hari itu, Shera Rindra, salah satu peserta, hari itu memilih kata “baik”.

“Bagaimana kata baik membentuk perempuan seperti saat ini. Padahal maknanya bagus, tetapi menjadi rantai yang membelenggu perempuan dalam melakukan segala sesuatu,” kata Ika sembari menunjukkan hasil karyanya.

Ia memotong gambar seorang perempuan, yang kemudian dililit rantai. Kata “baik” yang diambil dari potongan halaman majalah yang berbeda melintang menimpa tubuh gambar perempuan.

Ada pula Erodio, mahasiswa dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ), yang memilih kata “pertiwi”. Ia tak memasukkan kata tersebut dalam karyanya, namun tergambarkan lewat kolase yang membentuk tanah beserta tanaman.

Ia adalah satu-satunya lelaki yang ada pada sesi tersebut. “Saya menyukai kata ‘Pertiwi’, karena menampilkan sisi yang lemah lembut, sekaligus agung,” kata Erodio.

Karena itu, bila membicarakan bumi, banyak orang yang mengacu pada istilah “Ibu Pertiwi”.

“Banyak juga yang tak memakai kata sehari-hari, tetapi kata lokal yang bahkan saya baru tahu maknanya bisa begitu,” kata Ika.

Sesi ini sering kali menambah pengetahuannya, juga peserta lain, tentang bagaimana secara tak langsung kata dan bahasa merendahkan perempuan.

Seorang peserta menuliskan pemaknaan kata Jro dari Bali.

Kata yang sering digunakan untuk merendahkan perempuan keturunan Tionghoa.

Kadang, ada juga yang menceritakan pengalaman pribadi mereka. Tentang bagaimana satu ucapan sederhana, namun dengan intonasi dan konteks tertentu bisa menjadi pisau yang menyakiti hati.

“Setelah membuat kolase ini, mereka bercerita dan menjadi pelepasan emosi. Banyak juga yang begitu,” kata Ika.

Konsep ini rupanya menarik perhatian masyarakat. Sepengamatan Rappler, banyak pengunjung mal yang sengaja berhenti untuk membaca dan melihat karya-karya yang sudah dipajang. Tak jarang yang mengambil gambar pada kata, yang mungkin terasa ada hubungan dengan mereka.

“Oleh Plaza Indonesia juga akhirnya pameran ini diperpanjang sampai Juli,” kata Ika sambil tersenyum sumringah.

Membuat buku

Seorang pengunjung usai berfoto dengan salah satu karya kolase dari workshop sebelumnya.

Karya-karya sejak 2015 ini akan dikurasi dan dikumpulkan menjadi satu buku pada Desember 2016 ini. Ika mengaku masih belum bisa membeberkan banyak lantaran belum ada satu buku khusus yang berisi kumpulan kolase. —Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!